JAWABAN.com - Modus pembunuhan empat orang anak oleh ibu kandungnya di Kota Malang, Jawa Timur, merupakan manifestasi sakitnya jiwa bangsa ini. Akar penyebab bunuh diri keluarga tidak semata-mata karena impitan ekonomi, namun sudah menyangkut betapa rapuh kesehatan jiwa keluarga di negeri ini. Bunuh diri keluarga yang merenggut nyawa anak-anak yang tidak berdosa berpangkal dari persoalan orangtuanya.
Pada saat ini kondisi orangtua yang mengidap sakit jiwa atau mengalami gangguan kejiwaan namun tidak dipahami lingkungannya dan tidak pula mendapatkan penanganan medis, jumlahnya tidak sedikit. Sehingga merupakan efek bola salju sosial yang terus menggelinding dan menimbulkan penderitaan anak-anak yang amat dalam.
Kasus pembunuhan terhadap tiga anak di Kota Bandung oleh ibu kandungnya beberapa waktu lalu dan kasus di Malang tersebut, semakin menyadarkan kita untuk segera mencari bentuk perlindungan anak yang benar-benar efektif. Duka nestapa anak tidak hanya dialami mereka yang berkeliaran di jalanan, ternyata juga dialami mereka yang bernaung di rumah sendiri dengan orangtua berpendidikan cukup.
Betapa sarat penderitaan anak-anak yang orangtuanya menderita sakit jiwa. Sementara, pranata sosial dan lembaga yang ada belum mampu mengentaskan derita anak tersebut karena berbagai faktor. Risiko anak yang tinggal satu atap dengan orangtua yang menderita sakit jiwa begitu tinggi dan sangat membahayakan kehidupannya. Mulai dari pertumbuhan jiwa dan raga yang abnormal, hingga harus meregang maut dibunuh orangtuanya.
Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) beserta lembaga terkait belum mampu mencari solusi yang tepat bagi anak-anak yang mengalami kondisi nestapa tersebut. Begitu pula UU Kesehatan juga belum memberikan solusi konkret bagi keluarga pengidap sakit jiwa agar tidak berdampak fatal.
Jika seorang ayah mengidap gangguan kejiwaan, anak dan istrinya seperti hidup di neraka jahanam. Dan bila seorang ibu yang mengidap, sang anak dan suami bagaikan menghadapi musuh dalam selimut yang setiap saat tanpa terduga bisa menimbulkan hal-hal yang fatal.
Pada umumnya ada ketertutupan jika ada anggota keluarga yang mengidap sakit jiwa. Akibatnya, orang luar cenderung sulit mengenali tanda-tanda gangguan kejiwaan yang menimpa seorang keluarga secara dini. Bahkan dalam kasus Aniek Qoriah di Bandung yang membunuh ketiga anaknya, kabarnya sang suami juga tidak menyadari kalau istrinya sedang mengidap sakit jiwa serius.
Suatu kondisi yang sangat ironis, karena mereka berpendidikan tinggi, lulusan ITB. Padahal jika suaminya tanggap, perawatan secara dini bisa dilakukan sehingga mengurangi risiko fatal. Namun, jika suaminya sejak awal mengetahui istrinya mengidap sakit jiwa serius tetapi membiarkan saja atau hanya merawat ala kadarnya sehingga tidak sesuai secara medis, sang suami sebetulnya bisa dijerat secara hukum.
Faktor utama yang menjadi pencetus gangguan jiwa adalah faktor genetik (internal). Sementara faktor eksternal atau lingkungan lebih disebabkan oleh makin beratnya beban kehidupan atau ekonomi di masa sekarang. Selain itu masih banyak faktor psikososial yang dapat menjadi predisposisi atau presipitasi gangguan jiwa.
Gangguan Jiwa Meningkat
Pada saat ini ada kecenderungan penderita gangguan jiwa jumlahnya meningkat. Data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan Litbang Departemen Kesehatan menunjukkan setidaknya terdapat 264 dari 1.000 anggota rumah tangga yang menderita gangguan kesehatan jiwa dalam berbagai tingkatan.
Data tersebut dapat dipastikan meningkat dengan kondisi sosial-ekonomi sekarang ini yang semakin amburadul. Begitu juga akibat seringnya terjadi bencana alam. Sejalan dengan survei tersebut, Bank Dunia juga melakukan studi komprehensif di beberapa negara termasuk Indonesia.
Studi tersebut mengatakan, penduduk negara-negara tersebut telah mengalami Disability Adjusted Life Years (DALY's ) atau kehilangan hari-hari produktif sebesar 8,1 persen per tahun akibat merebaknya penyakit kejiwaan.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dampak yang disebabkan penyakit tuberkulosis (7,2 persen), kanker (5,8 persen), penyakit jantung (4,4 persen) dan malaria (2,6 persen). Tingginya masalah tersebut menunjukkan masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah serius kesehatan masyarakat.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan definisi kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Atas dasar definisi tersebut, kesehatan warga bangsa harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dari tiga unsur, yakni organobiologik (tubuh), psiko-edukatif (jiwa), dan sosio-kultural (sosial).
Dengan demikian aspek kesehatan jiwa klop dengan definisinya, yakni suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang, dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Berbagai kasus serius juga telah menimpa anak Indonesia. Dari kasus maraknya penyiksaan dan pembunuhan, busung lapar, wabah penyakit, hingga perampasan hak-hak anak. Sehubungan dengan kondisi ini, sangatlah tepat jika UNICEF mengeluarkan peringkat keterbelakangan bagi bangsa Indonesia. Mencuatnya kasus-kasus tersebut juga merupakan indikator betapa lemah mekanisme perlindungan anak di In- donesia saat ini.
Banyak anak yang secara sistemik dirongrong hak-haknya. Di sisi lain, UUPA hanya menjadi formalitas semu dan sebatas agenda seremonial bagi pejabat. Maraknya kasus penyiksaan anak, gizi buruk, dan terampasnya hak-hak anak Indonesia semakin melemparkan anak Indonesia ke jurang kehancuran.
Ironisnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI ) justru terlihat tumpul dan sering mati langkah dalam menghadapi berbagai kasus yang menimpa anak-anak.
Komisi yang mendapatkan anggaran dari APBN ditambah berbagai bantuan yang cukup itu pada kenyataannya sering kedodoran menghadapi segudang persoalan. Kondisi KPAI yang keanggotaanya mewakili unsur pemerintah, masyarakat, dunia usaha terlihat tidak optimal.
Bertolak belakang dengan amanat dari UUPA. Tugas KPAI berdasarkan UUPA adalah menyosialisasikan pasal-pasal perlindungan anak, memantau implementasi hak anak pada yang bertanggung jawab seperti keluarga, masyarakat, dan negara.
Namun apa daya, cakupan persoalan anak di Tanah Air ini begitu luas. Akibatnya, sang anak yang oleh Kahlil Gibran diibaratkan sebagai anak panah itu tidak bisa melesat mengikuti perkembangan zaman, tetapi justru patah akibat kekejaman orangtuanya sendiri.
Penulis adalah pemerhati masalah psikososial dan lingkungan.(nat)